kriminalisasi petani ( persidangan ke 5 agenda pemeriksaan saksi pelapor )
RELEASE
HASIL PERSIDANGAN 4 PEJUANG PETANI WTT YANG KE-5
TANGGAL 13/4/2015 DI PENGADILAN NEGERI WATES, KULONPROGO
HASIL PERSIDANGAN 4 PEJUANG PETANI WTT YANG KE-5
TANGGAL 13/4/2015 DI PENGADILAN NEGERI WATES, KULONPROGO
“PEJABAT DAN APARAT LAPORKAN RAKYAT”
Persidangan ke-5 yang digelar pada 13 April 2015 dr jam 10.30 - 17.45 wib di Pengadilan Wates memperlihatkan pada kita semua bahwa kriminalisasi terhadap Sarijo, Wasiyo, Wakidi dan Tri Marsudi yang merupakan anggota dari organisasi tani Wahana Tri Tunggal (WTT) ternyata melibatkan Pejabat dan Aparat. Jika masyarakat ingin tahu siapa yang melaporkan 4 anggota WTT yang sampai sekarang masih mendekam di Penjara adalah: 1. Camat Temon, 2. Kepala Desa Glagah, 3. Kaur Desa Glagah dan 4. Komandan Satpol PP Kulonprogo. Keempat manusia inilah yang telah melaporkan 4 kawan kami ke Polres Kulonprogo yang sekaligus dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi dalam Persidangan.
Sejak awal pemeriksaan Sarijo, Wasiyo, Wakidi & Tri Marsudi di Polres Kulonprogo, semua pihak seakan bungkam tak ada yang mau mengaku dan memberi tahu siapa yang melaporkan 4 anggota WTT tersebut ke Polres Kulonprogo, termasuk pihak polres sendiri. Sungguh hal yang aneh, ada laporan yang masuk tapi tidak tahu siapa yang melaporkan.
Ada catatan penting dalam proses pembuktian yang menghadirkan 4 saksi dari Pejabat dan Aparat dalam persidangan yang digelar pada hari Senin 13 April 2015.
Yang pertama, CAMAT TEMON: Dia salah satu manusia yang melaporkan 4 anggota WTT ke Polers Kulonprogo. Ia memberikan keterangan di Persidangan bahwa dia yang telah melaporkan 4 kawan kami padahal pada saat kejadian Camat tidak berada di tempat namun dalam penjelasannya dia seolah-olah mengetahui persis kejadian itu. Kemudian ketika ditanya tentang kasus yang ada di Temon, ia menjawab hanya ikut instruksi atasan, dan kalau sudah seperti ini artinya Camat Temon sudah tidak mau tau dengan Persoalan Rakyat Temon.
Yang Kedua, KEPALA DESA GLAGAH: Ini manusia pelapor juga, dan Diapun saat kejadian penyegelan tidak berada dilapangan. Yang harus dicatat bahwa peristiwa Penyegelan tidak ada perusakan dan kerusakan sama sekali. Namun dalam kasus ini dibuat mencekam seperti contoh didalam ruang persidangan dijaga aparat dengan senjata lengkap padahal dalam aturan didalam persidangan tidak diperbolehkan siapapun membawa senjata tajam, senjata api termasuk aparat keamanan, kemudian hanya kasus penyegelan yang sepele ini, saksi yang sudah dihadirkan oleh JPU sudah 4 orang dan akan ditambah lagi 6 orang untuk persidangan selanjutnya sehingga jumlah saksi yang akan dihadirkan oleh JPU sebanyak 10 orang. Layaknya sidang kasus Teroris saja. Kemudian mengapa Balai Desa bisa disegel oleh masyarakat secara spontanitas..?? Karena Kepala Desa Glagah yang terletak di Kecamatan Temon yang diajak masyarakat untuk turut ikut menolak rencana Pembangunan Bandara yang akan menggusur Desa Glagah dan mempertanyakan Pemblokiran jalan oleh aparat saat sosialisasi rencana Pembangunan Bandara yang intinya masyarakat WTT dilarang menghadiri Sosialisasi di Balai Desa Glagah. Saat sebelum Penyegelan Kepala Desa masih ada dan ketika diajak rembug/ musyawarah dengan masyarakat justru Kepala Desa Glagah kabur entah kemana. Selanjutnya mengapa masyarakat mengajak Kepala Desa Berembug/musyawarah..?? Karena Kepala Desa dipilih oleh masyarakat Desa, sehinga semua masyarakat menginginkan dalam kebijakan yang diambil oleh Kepala Desa apalagi soal wilayah Desa yang akan Digusur itu harus di musyawarah secara bersama-sama, tapi sikap dan cara Kepala Desa itu dengan tidak mau berembug membuat masyarakat menyegel Balai Desa.
Yang Ketiga, KAUR DESA GLAGAH/Staf Kantor Desa: KAUR Desa Glagah dalam keterangannya sebagai saksi dia menjelaskan bahwa ada perintah larangan dari Kepala Desa yaitu untuk tidak diperbolehkan menemui masyarakat pada waktu masyarakat menginginkan ada dialog/ musyawarah terkait adanya issu Pembangunan Bandara. Selanjutnya ketika KAUR DESA GLAGAH ditanya terkait dengan penyegelan dia tidak secara jelas melihat penyegelan ditengah-tengah kerumunan banyak orang karena jaraknya sekitar 30 meter dari tempat kerumunan tersebut.
Yang Keempat, KOMANDAN SATPOL PP Kulon Progo: Dalam persidangan Dia memberikan kesaksian bahwa Saat kejadian Penyegelan, Komandan SATPOL PP ini mengamankan Kepala Desa. Disini yang perlu dilihat adalah bahwa SATPOL PP telah melanggar Kode Etik Fungsi Tugas sebagai Pengamanan, Dia tidak mengamankan masyarakat justru membawa kabur Kepala Desa Glagah yang tentusaja sangat diskriminataif dalam menjalankan tugas, selain itu jika dilihat dari hukum kausalitas atau Sebab-Akibat adanya Penyegelan karena masyarakat kecewa pada kepala Desa yang tidak mau diajak musyawarah dan justru diajak kabur oleh Komandan SATPOL PP, artinya dia juga termasuk orang yang memicu aksi penyegelan Balai Desa.
Ini sekiranya menjadi fakta persidangan yang sejauh ini kita lihat bahwa kasus ini adalah kasus sampah dan tidak layak untuk dipersidangkan, namun kita lihat begitu besarnya intervensi dan nuansa politisasinya dan menunjukan ke Publik bahwa ini kriminalisasi, tidak adil, dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Untuk itu kami menuntut:
1. TOLAK PEMBANGUNAN BANDARA DI TEMON YANG AKAN MENGGUSUR LAHAN PRODUKTIF PETANI, PEMUKIMAN, CAGAR BUDAYA, PARIWISATA, SOSIAL BUDAYA DAN MASIH BANYAK LAINNYA.
2. BEBASKAN SARIJO, WASIYO, WAKIDI DAN TRI MARSUDI.
Persidangan ke-5 yang digelar pada 13 April 2015 dr jam 10.30 - 17.45 wib di Pengadilan Wates memperlihatkan pada kita semua bahwa kriminalisasi terhadap Sarijo, Wasiyo, Wakidi dan Tri Marsudi yang merupakan anggota dari organisasi tani Wahana Tri Tunggal (WTT) ternyata melibatkan Pejabat dan Aparat. Jika masyarakat ingin tahu siapa yang melaporkan 4 anggota WTT yang sampai sekarang masih mendekam di Penjara adalah: 1. Camat Temon, 2. Kepala Desa Glagah, 3. Kaur Desa Glagah dan 4. Komandan Satpol PP Kulonprogo. Keempat manusia inilah yang telah melaporkan 4 kawan kami ke Polres Kulonprogo yang sekaligus dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi dalam Persidangan.
Sejak awal pemeriksaan Sarijo, Wasiyo, Wakidi & Tri Marsudi di Polres Kulonprogo, semua pihak seakan bungkam tak ada yang mau mengaku dan memberi tahu siapa yang melaporkan 4 anggota WTT tersebut ke Polres Kulonprogo, termasuk pihak polres sendiri. Sungguh hal yang aneh, ada laporan yang masuk tapi tidak tahu siapa yang melaporkan.
Ada catatan penting dalam proses pembuktian yang menghadirkan 4 saksi dari Pejabat dan Aparat dalam persidangan yang digelar pada hari Senin 13 April 2015.
Yang pertama, CAMAT TEMON: Dia salah satu manusia yang melaporkan 4 anggota WTT ke Polers Kulonprogo. Ia memberikan keterangan di Persidangan bahwa dia yang telah melaporkan 4 kawan kami padahal pada saat kejadian Camat tidak berada di tempat namun dalam penjelasannya dia seolah-olah mengetahui persis kejadian itu. Kemudian ketika ditanya tentang kasus yang ada di Temon, ia menjawab hanya ikut instruksi atasan, dan kalau sudah seperti ini artinya Camat Temon sudah tidak mau tau dengan Persoalan Rakyat Temon.
Yang Kedua, KEPALA DESA GLAGAH: Ini manusia pelapor juga, dan Diapun saat kejadian penyegelan tidak berada dilapangan. Yang harus dicatat bahwa peristiwa Penyegelan tidak ada perusakan dan kerusakan sama sekali. Namun dalam kasus ini dibuat mencekam seperti contoh didalam ruang persidangan dijaga aparat dengan senjata lengkap padahal dalam aturan didalam persidangan tidak diperbolehkan siapapun membawa senjata tajam, senjata api termasuk aparat keamanan, kemudian hanya kasus penyegelan yang sepele ini, saksi yang sudah dihadirkan oleh JPU sudah 4 orang dan akan ditambah lagi 6 orang untuk persidangan selanjutnya sehingga jumlah saksi yang akan dihadirkan oleh JPU sebanyak 10 orang. Layaknya sidang kasus Teroris saja. Kemudian mengapa Balai Desa bisa disegel oleh masyarakat secara spontanitas..?? Karena Kepala Desa Glagah yang terletak di Kecamatan Temon yang diajak masyarakat untuk turut ikut menolak rencana Pembangunan Bandara yang akan menggusur Desa Glagah dan mempertanyakan Pemblokiran jalan oleh aparat saat sosialisasi rencana Pembangunan Bandara yang intinya masyarakat WTT dilarang menghadiri Sosialisasi di Balai Desa Glagah. Saat sebelum Penyegelan Kepala Desa masih ada dan ketika diajak rembug/ musyawarah dengan masyarakat justru Kepala Desa Glagah kabur entah kemana. Selanjutnya mengapa masyarakat mengajak Kepala Desa Berembug/musyawarah..?? Karena Kepala Desa dipilih oleh masyarakat Desa, sehinga semua masyarakat menginginkan dalam kebijakan yang diambil oleh Kepala Desa apalagi soal wilayah Desa yang akan Digusur itu harus di musyawarah secara bersama-sama, tapi sikap dan cara Kepala Desa itu dengan tidak mau berembug membuat masyarakat menyegel Balai Desa.
Yang Ketiga, KAUR DESA GLAGAH/Staf Kantor Desa: KAUR Desa Glagah dalam keterangannya sebagai saksi dia menjelaskan bahwa ada perintah larangan dari Kepala Desa yaitu untuk tidak diperbolehkan menemui masyarakat pada waktu masyarakat menginginkan ada dialog/ musyawarah terkait adanya issu Pembangunan Bandara. Selanjutnya ketika KAUR DESA GLAGAH ditanya terkait dengan penyegelan dia tidak secara jelas melihat penyegelan ditengah-tengah kerumunan banyak orang karena jaraknya sekitar 30 meter dari tempat kerumunan tersebut.
Yang Keempat, KOMANDAN SATPOL PP Kulon Progo: Dalam persidangan Dia memberikan kesaksian bahwa Saat kejadian Penyegelan, Komandan SATPOL PP ini mengamankan Kepala Desa. Disini yang perlu dilihat adalah bahwa SATPOL PP telah melanggar Kode Etik Fungsi Tugas sebagai Pengamanan, Dia tidak mengamankan masyarakat justru membawa kabur Kepala Desa Glagah yang tentusaja sangat diskriminataif dalam menjalankan tugas, selain itu jika dilihat dari hukum kausalitas atau Sebab-Akibat adanya Penyegelan karena masyarakat kecewa pada kepala Desa yang tidak mau diajak musyawarah dan justru diajak kabur oleh Komandan SATPOL PP, artinya dia juga termasuk orang yang memicu aksi penyegelan Balai Desa.
Ini sekiranya menjadi fakta persidangan yang sejauh ini kita lihat bahwa kasus ini adalah kasus sampah dan tidak layak untuk dipersidangkan, namun kita lihat begitu besarnya intervensi dan nuansa politisasinya dan menunjukan ke Publik bahwa ini kriminalisasi, tidak adil, dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Untuk itu kami menuntut:
1. TOLAK PEMBANGUNAN BANDARA DI TEMON YANG AKAN MENGGUSUR LAHAN PRODUKTIF PETANI, PEMUKIMAN, CAGAR BUDAYA, PARIWISATA, SOSIAL BUDAYA DAN MASIH BANYAK LAINNYA.
2. BEBASKAN SARIJO, WASIYO, WAKIDI DAN TRI MARSUDI.
0 komentar: