tolak bandara
Proyek pembangunan bandara International di Kulon progo Yogyakarta yang merupakan bagian dari Mega proyek pemerintah daerah kulon progo serta salah satu program MP3EI di Yogyakarta selain penambngan pasir besi oleh PT JMI (perusahaan asal Australia) di pesisir pantai Kulon Progo. MP3EI merupakam program pemerintah pusat, sebagai sebuah upaya untuk konektivikasi basis – basis industri kapitalisme. Pembangunan proyek bandara di kulon progo proses awalnya dimulai dari MoU anntara pemerintah indonesia yang diwakili oleh Angkasa pura (Persero) dengan Investor asal India GVK power & Infrastructure pada tanggal 25 Januari 2011 di India. Kerja sama itu berbentuk perusahaan patungan (joint venture company) dengan masing-masing pihak memiliki hak atas kepemilikan saham dan pembangunan bandara tersebut senilai US$ 500 Juta.Ada 1000 Kepala Keluarga atau sekitar 5000 jiwa serta ada pemukiman, sawah, maupun ladang yang akan digusur akibat pembngunan proyek bandara. Keberadaan pembangunan proyek bandara, menjadi embrio pemebntukan organisasi perlawanan rakyat, tepatnya pada tanggal 9 september 2012 berdiri Wahana Tri Tunggal (WTT) Organisasi yang anggotanya terdiri dari enam desa antara lain Desa Glagah, Palihan, Sindutan, Jangkaran, Kebonrejo, dan Temon Kulon. Mayoritas keanggotaan WTT terdiri dari petani, baik pemilik lahan, petani penggarap, maupun buruh tani. akhir tahun 2013 WTT melakukan audensi dengan Bupati Kulon Progo, untuk mempertanyakan kebenaran proyek pembangunan bandara, Bupati dalam audensi menegaskan bahwa keberadaan proyek pembangunan Bandara tergantung pada keinginan masyrakat, jika masyarakat menolak maka proyek pembangunan bandara akan dihentikan.
Namun Pemerintah daerah mengingakari hasil dari audensi, yang akan menghentikan upaya pembnagunan bandara, Melaui seketaris daerah Kulon Progo serta melibatkan konsultan dari PT Angkasa Pura I melakukan identifikasi lahan untuk lokasi pembangunan bandara. Dan hasil identifikasi menempatkan pembangunan bandara pada enam desa di kecamatan Temon antara lain Desa Glagah, Palihan, Sindutan, Jangkaran, Kebonrejo, dan Temon Kulon. Berdasarkan identifikasi itu lahan seluas 637 hektar akan digunakan untuk lokasi bandara. Dan ditambah dengan jalur kereta api yang akan dibangun, maka total lahannya mencapai 648 hektar. Selain itu berdasarkan hasil identifikasi pemda mengklaim bahwa sekitar 80 persen lahan yang aklan digunakan untuk proyek bandara merupakan tanah Paku Alam Ground (di Yogyakarta sistem pemerintahaanya masih mengakui kekuasaan raja (feodal) yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono dan Pakulaman,selain mempunyai kekuasaan politik, Sri Sultan sebagai Gubernur dan Pakualaman sebagai Wakil Gubernur. Mereka juga memiliki kekuasaan atas hak kepemilikan tanah dengan sistem pengklaiman, kekusaan atas tanahnya dalam bentuk Sultan Graund (SG) atau Pakualaman Graund (PAG)) . Izin pembangunan bandara disetujui oleh pemerintah pusat melaui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dengan diterbitknnya IPL (Izin Penetapan Lokasi) pada tanggal 11 November 2013 dengan No 1164/2013 dan selanjutnya di kelolah oleh pemerintah daerah. Sempai sekarang upaya terus dilakukan oleh untuk merealisasikan pembangunan bandara. namun terdapat bebarapa kendala yang menghambat proyek ini, pertama karena penolakan khususnya dari WTT dan kedua terkait dengan izin penetapan lokasi dan pembebasan lahan. Hal ini dikarenakan terjadi polemik jarak antara PT JMI dan lokasi landasan (runway) bandara di wilayah glagah. Jarak yang terlalu dekat dikhawatirkan oleh angkasa pura bisa mangangu keselamatan operasional penerbangan. Polemik yang terjadi memaksakan sekda kulonprogo berupaya melakukan perundingan antara PT angkasa pura I dan PT JMI untuk memundurkan lokasi pabrik kea rah timur sementara angkasa pura memundurkan runway 500 meter kea rah barat agar kedua mega proyek itu dapat berjalan. Kisruh antara PT angsa pura dan PT JMI membuat izin penetapan lokasi dan pembebasan lahan dari pemerintah daerah terhambat, selain dari pada protes yang terus dilakukan oleh masyarakat yang tergabung dalam wahana tri tunggal.
Pada tanggaal 10 april 2014 masyarkat pun melakukan aksi demonstrasi, Sekitar 500 massa yang tergabung dalam paguyuban Wahana Tri Tunggal (WTT) dan mahasiswa yang tergabung dalam Persatuan Pemuda Anti DIktator (PREDATOR) mendatangi kantor kecamatan, melakukan aksi demontrasi dan beraudensi dengan Camat Temon, Djaka Prasetya, dan Kepala Desa Glagah, Agus Parmono, di pendopo kecamatan untuk mempertanyakan dan memrotes pendataan warga terdampak yang sebelumnya dilakukan oleh tim sosialisasi bandara yang tanpa sepengetahuan warga bersangkutan dan menuntut pembangunan bandara dibatalkan. Aksi ini dilakukan untuk meminta penjelasan secara langsung kepada Kades Glagah maupun Camat Temon terkait pendataan tanah warga yang akan digunakan untuk pembangunan bandara. Sebab warga mendapat informasi bahwa pendataan akan dilaksanakan melalui para dukuh dan data itu sudah berada di tangan camat temon, Warga juga menilai hasil pendataan melalui para dukuh bahwa jumlah yang kena dampak sebanyak 550 kk adalah data fiktif. Sebagai respon atas aksi dari wtt, empat hari kemudian pada tanggal 14 april 2014, muncul organisasi yang mengatasnamakan diri mereka sebagai forum rembug warga transparansi (FRWT) dan disusul dengan masyarakat peduli kulonprogo (MPK). Bagi masyarakat ini adalah kelompok buatan dari pemrintah kulonprogo untuk mendukung mega proyek pembagunan bandara internasional di temon. beberapa hari kemudian, muncul berbagai spanduk-spanduk pro bandara yang di buat dari kelompok FRWT dan MPK, mereka juga bersedia menjembatani aspirasi warga yang mendukung terhadap pembangunan bandara internasional. Kondsi di desa seperti di glagah, palihan, sindutan, jangkaran yang termasuk dalam izin penetapan lokasi mulai memanas. Warga juga menolak sensus BPS bahkan menolak bantuan raskin dari pemerintah kabupaten. Tanggal 20 mei 2014 Sebanyak 25 kepala keluarga warga Pedukuhan Sidorejo, Desa Glagah, Kecamatan Temon, Kulon Progo menolak bantuan beras bagi warga miskin (raskin) dari pemerintah. Ini merupakan buntut dari penolakan warga terhadap rencana pembangunan bandara, yang akan menggusur pemukiman warga Sidorejo. Selain raskin warga juga akan menolak semua bentuk bantuan dari pemerintah. Hinggah sejauh ini masyarakat yang tergabung dalam wahan tri tunggal terus melakukan penolakan bandara tanpa syarat, dan memintah pemerintah daerah untuk tdapat mendengar aspirasi mereka. Hasil pertemuan PT AP I, Gubernur DIY, dan GVK, investor dari India, pada tangal 26 mei 2014 terkait pembahasan pembebasan lahan calon lokasi bandara yang ditargetkan selesai tahun 2014, dan pembangunan konstruksi dimulai awal tahun 2015 mengingat kisruh antara PT JMI dan angkasa pura sudah tidak ada lagi sehingga proses pembebasan lahan dimungkinkan akan segera dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Menagapi hal ini sejauh ini WTT terus konsisten menolak pembangunan bandara tanpa syarat apapun dengan berbagai macam cara, seperti kerja bakti, membangun kerja sama dengan gerakan –gerakan perlawanan PPLP, ARMP, mujahadah rutinan setiap malam jumat pon (dalam istilah jawa) yang dilakukan sejak berdirnya WTT sampai sekarang untuk terus memintah permohonan dan doa agar pembangunan bandara dibatalkan.
0 komentar: