PRESS RELEASE
WAHANA TRI
TUNGGAL (WTT)
PERSATUAN PEMUDA
ANTI DIKTATOR (PREDATOR)
MENGECAM KERAS PEMATOKAN TANAH
Pasca putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 456 K/TUN/2015 terkait
kasasi yang diajukan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) atas putusan
pengadilan tingkat pertama di pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta yang
mengabulkan gugatan para Petani terhadap surat keputusan Gubernur DIY Nomor
68/KEP/2015 tentang penetapan lokasi pembangunan Bandara di Temon, Kulon Progo,
Yogyakarta, saat ini TIM pembebasan lahan yang sudah dibentuk sudah melakukan
pengukuran sekaligus pematokan tanah-tanah yang dimiliki warga Temon, Kulon
Progo. Pengukuran ini dilakukan setelah adanya proses Sosialisasi Pembebasan
Lahan terhadap warga Kulon Progo. Namun dalam proses Sosialisasi ini, banyak
warga Kulon Progo yang menolak adanya pembebasan lahan pertanian produktif
milik mereka. Dan kemudian banyak warga
yang juga menolak pembebasan lahan, dikarenakan tidak adanya kejelasan terkait
ganti rugi tanah warga yang mempunyai bangunan seperti Hotel dan tambak di
pesisir. Kemudian juga banyak warga yang menolak karena masih mempunyai keraguan
dengan kejelasan terkait relokasi warga yang terdampak. Warga yang terdampak
pembangunan Bandara akan di relokasikan di tanah-tanah kas desa, akan tetapi
tanah kas desa menjadi tanah Bengkok dikalangan
pamong desa. Apalagi jika dilihat jumlah warga yang terdampak saat ini, tanah
kas desa tidak cukup untuk menampung semua warga yang terdampak.
Kemudian, pada dasarnya pematokan ini tidaklah sesuai menurut
Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 15 Tahun 1975, yang mengatakan
bahwasannya Pembebasan atas Tanah dapat dilakukan apabila telah diperoleh kata
sepakat antara pemegang kesepakatan baik menyangkut teknis dan pelaksanaan,
maupun mengenai besar dan ganti rugi. Melihat proses pematokan tersebut masih
belum tercapainya kesepakatan antara kedua belah pihak, maka seharusnya
pematokan tanah-tanah warga Kulon Progo tidak seharusnya dilakukan, di karenakan
masih adanya warga yang menolak atas pematokan tersebut.
Proses pematokan yang dalam realisasinya sangat dipaksakan oleh
pemerintah memunculkan banyak reaksi penolakan dari banyak warga. Bukan hanya
WTT saja yang bereaksi, begitu pula warga yang lain. Proses pematokan yang
sangat dipaksakan ini menimbulkan gejolak sosial bagi masyarakat. Ada beberapa
kejadian pertentangan antar tetangga yang berdebat tentang masalah batas-batas
lahan semisal. Bahkan antar saudara sekandung yang lahan warisannya belum sah
dipecah berdasarkan hukum. Hal-hal tersebut yang tidak diperhitungkan oleh
pemerintah yang hanya sepihak memaksakan kehendaknya untuk segera
merealisasikan proyek pembangunan Bandara. Proses pemaksaan yang tanpa
memperhitungkan dampak akan berakibat fatal dalam keberlangsungan kehidupan
sosial masyarakat. Kehidupan sosial masyarakat Temon yang sudah terbentuk
puluhan tahun kiranya perlu menjadi perhatian bagi pemerintah. Proyek
pembangunan ini mau tidak mau akan merubah alur kehidupan masyarakat Temon yang
sudah terbentuk sebelumnya. Maka dari itu kami selaku warga terdampak yang
tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) dan Persatuan Pemuda Anti Diktator
(PREDATOR) mengecam keras pematokan tanah yang dilakukan TIM pembebasan lahan.
Dan akan tetap melakukan penolakan pembangunan Bandara diatas lahan pertanian
produktif.
0 komentar: