05.03 0 Comments

PRESS RELEASE
WAHANA TRI TUNGGAL (WTT)
PERSATUAN PEMUDA ANTI DIKTATOR (PREDATOR)
MENGECAM KERAS PEMATOKAN TANAH
Pasca putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 456 K/TUN/2015 terkait kasasi yang diajukan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) atas putusan pengadilan tingkat pertama di pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta yang mengabulkan gugatan para Petani terhadap surat keputusan Gubernur DIY Nomor 68/KEP/2015 tentang penetapan lokasi pembangunan Bandara di Temon, Kulon Progo, Yogyakarta, saat ini TIM pembebasan lahan yang sudah dibentuk sudah melakukan pengukuran sekaligus pematokan tanah-tanah yang dimiliki warga Temon, Kulon Progo. Pengukuran ini dilakukan setelah adanya proses Sosialisasi Pembebasan Lahan terhadap warga Kulon Progo. Namun dalam proses Sosialisasi ini, banyak warga Kulon Progo yang menolak adanya pembebasan lahan pertanian produktif milik  mereka. Dan kemudian banyak warga yang juga menolak pembebasan lahan, dikarenakan tidak adanya kejelasan terkait ganti rugi tanah warga yang mempunyai bangunan seperti Hotel dan tambak di pesisir. Kemudian juga banyak warga yang menolak karena masih mempunyai keraguan dengan kejelasan terkait relokasi warga yang terdampak. Warga yang terdampak pembangunan Bandara akan di relokasikan di tanah-tanah kas desa, akan tetapi tanah kas desa menjadi tanah Bengkok dikalangan pamong desa. Apalagi jika dilihat jumlah warga yang terdampak saat ini, tanah kas desa tidak cukup untuk menampung semua warga yang terdampak.
Kemudian, pada dasarnya pematokan ini tidaklah sesuai menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 15 Tahun 1975, yang mengatakan bahwasannya Pembebasan atas Tanah dapat dilakukan apabila telah diperoleh kata sepakat antara pemegang kesepakatan baik menyangkut teknis dan pelaksanaan, maupun mengenai besar dan ganti rugi. Melihat proses pematokan tersebut masih belum tercapainya kesepakatan antara kedua belah pihak, maka seharusnya pematokan tanah-tanah warga Kulon Progo tidak seharusnya dilakukan, di karenakan masih adanya warga yang menolak atas pematokan tersebut.

Proses pematokan yang dalam realisasinya sangat dipaksakan oleh pemerintah memunculkan banyak reaksi penolakan dari banyak warga. Bukan hanya WTT saja yang bereaksi, begitu pula warga yang lain. Proses pematokan yang sangat dipaksakan ini menimbulkan gejolak sosial bagi masyarakat. Ada beberapa kejadian pertentangan antar tetangga yang berdebat tentang masalah batas-batas lahan semisal. Bahkan antar saudara sekandung yang lahan warisannya belum sah dipecah berdasarkan hukum. Hal-hal tersebut yang tidak diperhitungkan oleh pemerintah yang hanya sepihak memaksakan kehendaknya untuk segera merealisasikan proyek pembangunan Bandara. Proses pemaksaan yang tanpa memperhitungkan dampak akan berakibat fatal dalam keberlangsungan kehidupan sosial masyarakat. Kehidupan sosial masyarakat Temon yang sudah terbentuk puluhan tahun kiranya perlu menjadi perhatian bagi pemerintah. Proyek pembangunan ini mau tidak mau akan merubah alur kehidupan masyarakat Temon yang sudah terbentuk sebelumnya. Maka dari itu kami selaku warga terdampak yang tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) dan Persatuan Pemuda Anti Diktator (PREDATOR) mengecam keras pematokan tanah yang dilakukan TIM pembebasan lahan. Dan akan tetap melakukan penolakan pembangunan Bandara diatas lahan pertanian produktif.

Unknown

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: