Selama 10
tahun terakhir konflik agraria (pertanahan) di indonesia terus mengalami
peningkatan. Menurut laporan konsorium pembaharuan agraria (KPA), semenjak
tahun 2004-2014 konflik agraria di indonesia tercatat sebanyak 1.520 konflik
dengan luas areal 6.541.951,00 hektar yang melibatkan sebanyak 85 petani
kehilangan nyawa, 633 petani dianiyaya, 110 petani ditembak, dan 1.395 petani
dikriminalisasi dan ditahan oleh negara. Konflik agraria semakin meluas seiring
dengan meluasnya proyek Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI),terutama pada pembangunan infrastruktur. KPA mencatat
konflikagraria tertinggi terjadi pada proyek proyek pembangunan insfrastruktur,
sedikitnya telah terjadi 215 konflik agraria (45,55%). Salah satunya ialah
pembangunan insfrastruktur Bandara Internasional di Kecamatan Temon Kulon Progo
yang melibatkan Pt.Angkasa Pura 1 yang berkolaborasi dengan perusahaan asal
india GVK Power yang rencananya akan membangun Bandara Internasional seluas
645,68 hektar yang akan menggusur lahan pertanian produktif, cagar budaya,
tempat wisata, dan pemukiman warga. Program
Pemerintah Indonesia
untuk pembangunan megaproyek bandara Internasional di
Kecamatan Temon, Kabupaten, Kulon Progo, telah memicu warga
di 6 (Enam) Desa yakni: (Glagah, Palihan, Sindutan, Jangkaran,
Kebonrejo,Temon,danKulon)KecamatanTemon,untukmenolak adanya pembangunan megaproyek bandara,
karena akan menggusur habis lahan pertanian produktif dan tanah
hak milik warga sekitar. Oleh karena itu warga adanya pembangunan
megaproyek bandara di Temon, dengan tujuan agar petani tidak
kehilangan mata pencaharianya setiap hari.
Menolak
Kalau lahan pertanian dan tanah hak milik
petani akan digusur maka aktivitas produksi petani untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya pun akan hilang, sebab tanah adalah kehidupan bagi
manusia,dan tanah merupakan alat produksi para PETANI. Pemerintah seharusnya mengetahui bahwa sejarah
kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari kelas petani yang turut
memproklamirkan kemerdekaan 1945. Namun, pada pemerintahan Orde Baru hingga
saat ini tidak pernah menghormati atau menghargai jasa petani. Lebih lagi
pada era pemerintahan SBY-Boediono yang telah mengesahkan
Program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI),
pada tahun 2011 untuk menopang pasar bebas. Adapun dalam Perpres (MP3EI)
tersebut terdapat program baru di Yogyakarta, khususnya di Kabupaten Kulonprogo
akan dibangun bandara Internasional yang nantinya akan merampas tanah rakyat
seluas 645,68 hektar. Tetapi kalau dilihat dari pembangunannya yang
bertaraf Internasional, apakah benar hanya membutuhkan tanah seluas 645,68 hektar. Bandara
Kualanamu saja membutuhkan ±1.800 hektar, apa mungkin bandara bertaraf
Internasional hanya membutuhkan tanah seluas 645,68
hektar. Akan tetapi pemerintah telah mengelabui rakyatnya sendiri dengan
slogan “pembangunan bandara untuk kemajuan rakyat” Slogan yang
disampaikan Negara untuk rakyat itu adalah penipuan terhadap seluruh rakyat
Indonesia. Semenjak munculnya pembangunan bandara telah memunculkan penolakan
keras dari rakyat Temon yang tergabung dalam WTT (Wahana Tri Tunggal) dan
PREDATOR (Persatuan Pemuda Anti Diktator). Rakyat kini telah memahami tentang
pembangunan megaproyek bandara yang nantinya akan mengganggu keberlangsungan hidup
mereka. alasan
warga menolak adanya pembangunan bandara di
temon adalah:
1. Karana
pesisir selatan kulon progo khususnya kecamatan Temon adalah areal pertanian
produktif dan masih banyak lahan yang mungkin bisa dijadikan lokasi mengingat
pernah ada wacana lokasi Bandara baru Yogyakarta akan di bangun di wilayah
lainnya yang mungkin tidak mengganggu aspek sosial dan ekonomi masyarakat
setempat.
2. Lahan konsesi pembangunan bandara seluas 645,68 hektar tersebut merupakan lahan yang menjadi
kehidupan masyarakat baik untuk kehidupan sehari-hari maupun mata pencaharian.
Lahan itu terdiri dari 80 persen lahan Hak Milik Masyarakat yang bersertifikat,
leter C dan 20 persen tanah merah (tanah Negara bebas dan milik Paku Alaman).
3. Lahan 645,68 Hektar yang akan
dijadikan proyek pembangunan bandara merupakan wilayah pemukiman yang terdapat
Enam Desa terdiri dari Desa Glagah (2.720), Palihan (2.164), Sindutan (2.003),
Jangkaran (1.681), Kebonrejo (1.317), dan Temon Kulon (1.616) sehingga
jumlahnya 11.501 jiwa (BPS) serta ada pemukiman, tempat ibadah, sekolahan,
sawah, tempat usaha yang akan digusur akibat Pembangunan Bandara di Temon.
4. Pesisir Temon memiliki lahan pertanian, yang mampu menghidupi sedikitnya
26.367 jiwa (BPS) masyarakat Temon, telah memberikan lapangan pekerjaan baik
bagi penduduk setempat maupun di luar daerah (sebagai buruh petik, tengkulak,
penyedia pupuk dan benih).
Dampak bagi
warga:
1. Menggusur Lahan Hortikultura dan Pemukiman.
Akan
menggusur kawasan lahan produktif yang sampai saat ini telah memberikan
keuntungan masyarakat setempat ataupun masyarakat sekitar, baik materi maupun
non materi (jasa lingkungan, kelembagaan, dan pengembangan pengetahuan
masyarakat) dan ada pemukiman di Enam Desa diantaranya Desa Glagah, Palihan,
Sindutan, Jangkaran, Kebonrejo, dan Temon Kulon serta, tempat ibadah,
sekolahan, sawah, tempat usaha yang akan digusur akibat Pembangunan Bandara di
Temon.
2. Penghapusan Lapangan Kerja yang Sudah Diciptakan oleh Petani
Lahan produktif di pesisir Temon telah memberikan lapangan pekerjaan baik bagi
penduduk setempat maupun di luar daerah (sebagai buruh petik, tengkulak,
penyedia pupuk dan benih). Dengan rencana pembangunan bandara ini akan
meningkatkan angka pengangguran usia produktif, baik di kawasan pesisir maupun
sekitarnya.
3. Gangguan Bagi Penyediaan Kebutuhan Bahan Pokok
Lahan pesisir tersebut mampu menghasilkan berbagai macam kebutuhan poko
masyarakat, sayur-mayur, buah dan sebagainya, sehingga menjadi penyedia
kebutuhan cabai terutama di Yogyakarta, Jakarta dan Sumatera.
4. Menghilangkan Ekosistem Gumuk Pasir
Pesisir di Kabupaten Kulon Progo adalah bagian dari gugusan gumuk pasir yang
memanjang dari pantai Parangtritis, Kabupaten Bantul, dan merupakan satu dari
14 gumuk pasir pantai di dunia dan mempunyai fungsi lingkungan sebagai benteng
terhadap ancaman bencana tsunami,.
5.Tumbuhnya Konflik horizontal yang Sengaja Diciptakan oleh Pemrakarsa Bandara.
Sebelum adanya isu rencana pembangunan Bandara, masyarakat hidup damai dengan
semua pihak. Rencana pembangunan Bandara ini telah menimbulkan konflik
horizontal yang dipicu oleh provokasi-provokasi pemerintah dan PT. Angkasa Pura
dan bahkan upaya-upaya kriminalisasi terhadap yang kontra terhadap Bandara .seperti yang dialami Sarijo, Wasio, Wakidi, dan Tri Marsudi.