TEMON BERGERAK MBENERKE PUTUSAN SING ORA BENER

TEMON BERGERAK MBENERKE PUTUSAN SING ORA BENER

Berawal dari di rencana pembangunan Bandara di daerah Temon, Kulon Progo. Pemerintah mengeluarkan IPL (Izin Penetapan Lokasi). Yang akan merampas dan menghilangkan kehidupan warga yang terdampak pembangunan bandara. Rakyat yang tergabung dari WTT (Wahana Tri Tunggal)  menggugat IPL. Karena IPL adalah senjata dari negara untuk merampas masa depan warga yang terdampak rencana pembangunan bandara. Warga WTT mengajukan gugatan Ke PTUN yang akhirnya dimenangkan oleh warga WTT karena IPL tidak sesuai dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kulon Progo yang berbeda dengan RTRW Provinsi dan nasional. Pemerintah tetap memaksakan IPL dengan mengajukan kasasi ke tingkat MA (Mahkama Agung).
Di tingkat MA hakim agung khilaf sehingga mengabulkan IPL yang jelas-jelas melanggar RTRW dan cacat hukum. Dengan senjata IPL investor yang berkolaborasi dengan pemerintah memaksakan kehendak membangun bandara di lahan subur yang di tempati oleh warga. Rencana pembangunan bandara yang sesungguhnya menghancurkan tatanan sosial dan menghilangkan berhektar-hektar lahan produktif serta kehidupan warga tetap dipaksakan dibangun,sehingga sekarang sudah memasuki tahap pengukuran lahan.
Hari ini warga temon yang tergabung daam WTT melakukan aksi TEMON BERGERAK MBENERKE PUTUSAN SING ORA BENER; temon bergerak memebenarkan keputusan yang tidak benar. Hari ini Warga WTT mengajukan PK (Peninjauan Kembali) atas keputusan hakim MA yang Khilaf saat menentukan keputusan kasasi.
Maka kami Warga WTT Menuntut:
1.      Cabut IPL lewat Putusan PK
2.      Rencana pembangunan bandara di Kecamatan Temon HARUS BATAL




PROSES PEMATOKAN DAN PEMBEBASAN LAHAN YANG TIDAK SESUAI DENGAN PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 15 TAHUN 1975 TENTANG KETE


Pasca Putusan Mahkamah Agung Nomor 456 K/TUN/2015 Terkait kasasi yang di ajukan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) atas putusan pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta yang mengabulkan gugatan para petani terhadap Surat Keputusan Gubernur DIY Nomor 68/KEP/2015 Tentang Penetapan Lokasi Pembangunan Bandara di Kab.kulonprogo Yogyakarta,selasa 24 november 2015, Tim Panitia Pembebasan Tanah sudah mulai mematok lahan milik warga masyarakat Kulonprogo,pematokan ini di lakukan setelah adanya proses sosialisasi kepada masyarakat Kulonprogo. Namun dalam proses sosialisasinya, warga masyarakat Kulonprogo menolak pembangunan bandara tersebut atas dasar karena tanah mereka adalah lahan yang produktif yang itu menjadi sumber perekonomian mereka, warga yang mempunyai asset seperti hotel dan tambak udang di daerah pesisir pantai,dan kemudian juga masih banyak warga masyarakat Kulonprogo yang menolak pembebasan atas lahan produktif,yang pada dasarnya mereka telah hidup sejahtera dengan lahan tersebut.
Di mana jika mengacu pada peraturan Mentri Dalam Negeri (PMDN) Nomor 15 Tahun 1975 Tentang ketentuan –ketentuan mengenai tata cara pembesasan tanah, yang kemudian pembebasan atas tanah dapat di lakukan apabila telah di peroleh kata sepakat antara pemegang kesepakatan itu menyangkut baik tenis maupun mengenai besar dan ganti rugi,maka sudah di ketahui bahwasannya proses pematokan yang di lakuakan oleh Tim Panitia Pembebasan tanah ini tidak berdasarkan kesepakatan secara bersama antara kedua belah pihak.proses pematokan hanya berdasarkan perintah dari Gubernur DIY, bukan dari kesepakatan dan persetujuan dari semua warga masyarakat Kulonprogo yang terdampak dari mega proyek pembangunan bandara, Dan kemudian dalm pasal 3 Pemendagri Nomor 15 tahun 1975 juga mengatakan bahnwa Dalam melaksanakan tugasnya , Panitia Pembebasan Tanah berpedoman kepada peraturan–peraturan yang berlaku berdasarkan azas musyawarah dan harga umum setempat,dan dalam pasal 6 mengatakan bahwa Dalam penetapan ganti rugi sebagai yang di maksud dalam pasal (5) di atas termasuk pula tanaman-tanaman dan bangunan-bangunan yang ada di atas tanah tersebut. Maka dapat kita ketahui di daerah Kulonprogo merupakan lahan yang sangat produktif yang kemudian lahan ini dapat memberikan kehidupan yang baik secara ekonomi.
keterangan : di tulis oleh oleh HARIS
PRESS RELEASE
WAHANA TRI TUNGGAL (WTT)
PERSATUAN PEMUDA ANTI DIKTATOR (PREDATOR)
MENGECAM KERAS PEMATOKAN TANAH
Pasca putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 456 K/TUN/2015 terkait kasasi yang diajukan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) atas putusan pengadilan tingkat pertama di pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta yang mengabulkan gugatan para Petani terhadap surat keputusan Gubernur DIY Nomor 68/KEP/2015 tentang penetapan lokasi pembangunan Bandara di Temon, Kulon Progo, Yogyakarta, saat ini TIM pembebasan lahan yang sudah dibentuk sudah melakukan pengukuran sekaligus pematokan tanah-tanah yang dimiliki warga Temon, Kulon Progo. Pengukuran ini dilakukan setelah adanya proses Sosialisasi Pembebasan Lahan terhadap warga Kulon Progo. Namun dalam proses Sosialisasi ini, banyak warga Kulon Progo yang menolak adanya pembebasan lahan pertanian produktif milik  mereka. Dan kemudian banyak warga yang juga menolak pembebasan lahan, dikarenakan tidak adanya kejelasan terkait ganti rugi tanah warga yang mempunyai bangunan seperti Hotel dan tambak di pesisir. Kemudian juga banyak warga yang menolak karena masih mempunyai keraguan dengan kejelasan terkait relokasi warga yang terdampak. Warga yang terdampak pembangunan Bandara akan di relokasikan di tanah-tanah kas desa, akan tetapi tanah kas desa menjadi tanah Bengkok dikalangan pamong desa. Apalagi jika dilihat jumlah warga yang terdampak saat ini, tanah kas desa tidak cukup untuk menampung semua warga yang terdampak.
Kemudian, pada dasarnya pematokan ini tidaklah sesuai menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 15 Tahun 1975, yang mengatakan bahwasannya Pembebasan atas Tanah dapat dilakukan apabila telah diperoleh kata sepakat antara pemegang kesepakatan baik menyangkut teknis dan pelaksanaan, maupun mengenai besar dan ganti rugi. Melihat proses pematokan tersebut masih belum tercapainya kesepakatan antara kedua belah pihak, maka seharusnya pematokan tanah-tanah warga Kulon Progo tidak seharusnya dilakukan, di karenakan masih adanya warga yang menolak atas pematokan tersebut.

Proses pematokan yang dalam realisasinya sangat dipaksakan oleh pemerintah memunculkan banyak reaksi penolakan dari banyak warga. Bukan hanya WTT saja yang bereaksi, begitu pula warga yang lain. Proses pematokan yang sangat dipaksakan ini menimbulkan gejolak sosial bagi masyarakat. Ada beberapa kejadian pertentangan antar tetangga yang berdebat tentang masalah batas-batas lahan semisal. Bahkan antar saudara sekandung yang lahan warisannya belum sah dipecah berdasarkan hukum. Hal-hal tersebut yang tidak diperhitungkan oleh pemerintah yang hanya sepihak memaksakan kehendaknya untuk segera merealisasikan proyek pembangunan Bandara. Proses pemaksaan yang tanpa memperhitungkan dampak akan berakibat fatal dalam keberlangsungan kehidupan sosial masyarakat. Kehidupan sosial masyarakat Temon yang sudah terbentuk puluhan tahun kiranya perlu menjadi perhatian bagi pemerintah. Proyek pembangunan ini mau tidak mau akan merubah alur kehidupan masyarakat Temon yang sudah terbentuk sebelumnya. Maka dari itu kami selaku warga terdampak yang tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) dan Persatuan Pemuda Anti Diktator (PREDATOR) mengecam keras pematokan tanah yang dilakukan TIM pembebasan lahan. Dan akan tetap melakukan penolakan pembangunan Bandara diatas lahan pertanian produktif.

ALASAN KAMI BERTAHAN DI PESISIR KULON PROGO








ALASAN KAMI BERTAHAN DI PESISIR KULON PROGO


Pesisir Kulon Progo merupakan lahan pertanian produktif yang mampu menghasilkan padi, cabai, semangka, melon, jagung, pepaya, kelapa, dan tanaman sayur mayur. Tidak hanya pertanian yang ada dipesisir Kulon Progo namun juga ada perternakan, perikanan, kesenian, dan cagar budaya. Perternakan yang ada di pesisir Kulon progo merupakan aset pendukung terbesar penghasilan petani yang mampu menghasilkan pupuk kandang untuk tanaman yang petani tanam. Disisi lain petani juga memiliki sumber penghasilan lain tidak hanya dari pertanian maupun perternakan tapi juga dari hasil Pariwisata pantai Glagah yang ramai pengunjung dan hasil perikanan yang melimpah. Pesisir Kulon Progo juga memiliki kesenian dan cagar budaya seperti Jathilan, Angguk, Karawitan, Campur sari, Situs purbakala yang ada di Sidorejo, Gunung lanang, dll. Namun semenjak ada rencana pembangunan bandara di pesisir Kulon Progo petani menjadi resah karena pembangunan ini akan menggusur lahan pertanian dan pemukiman petani. “Kami akan tetap bertahan dipesisir Kulon Progo karena kami hanya bisa bertani dan jika disuruh pindah apakah kami masih bisa makan? Kami hanyalah petani yang rata-rata berpendidikan rendah jika kami di iming-imingi bekerja dibandara bertaraf internasional apakah mungkin petani yang berpendidikan rendah bisa bekerja dibandara bertaraf internasional sedangkan sarjana yang sudah S1 masih sulit untuk bekerja di bandara. Yang kami inginkan hanyalah bisa bekerja sebagai petani dan mampu menyekolahkan anak cucu kami setinggi-tinginya agar mereka tidak dibodohi seperti petani saat ini. Mungkin mereka menggunakan dasar kepentingan umum untuk merampas hak kami tapi mereka lupa bahwa kebutuhan manusia adalah Sandang, Pangan, dan Papan. Apakah pangan yang dihasilkan petani tidak untuk kepentingan umum? Kami disini sudah makmur, jika daerah lain kebanjiran dan kekeringan daerah kami tidak pernah kebanjiran apalagi kekeringan. Dengan panen yang melimpah kami sudah bersyukur”( ujar Ekza ). Pesisir kulon progo disinilah kami lahir, disinilah kami makan, dan disinilah kami mati itulah yang petani kulon progo katakan jika bandara tetap akan dibangun di Temon maka tidak ada pilihan lain selain LAWAN. Petani kulon progo akan terus menolak adanya bandara di kulon progo dengan adanya Wahana Tri Tunggal (WTT) dan Persatuan Pemuda Anti Diktator (PREDATOR) membuktikan jika petani sungguh-sungguh keberatan dengan adanya bandara di kulon progo. Kriminalisasi, Intimindasi, Diskriminasi, dan Pembodohan sudah pernah dirasakan oleh WTT karena menolak adanya pembangunan bandara. Bukalah hati nurani kalian dan biarkan Petani kulon progo hidup dengan nyaman dan tentram sebagai petani.

pantai selatan kulon progo

Konflik agraria yang terjadi di indonesia kian menajam seiring dengan adanya proyek Masterplain Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang memiliki semboyan harus dan wajib terealisasi. Salah satu proyek MP3EI yang mengakibatkan konflik antara petani dengan para pemodal adalah di kulon progo, perampasan tanah yang terjadi di kulon progo selain penambangan pasir besi yang melibatkan pt. JMI ada juga pembangunan bandara yang melibatkan pt angkasa pura 1 yang berkolaborasi dengan investor asal india GVK Power. Kedua proyek besar tersebut mengakibatkan konflik antara pihak pemrakarsa dengan warga, penambangan pasir besi mendapatkan penolakan keras dari Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) dan Gerakan Revolusioner Pemuda Selatan (GARUDA SELATAN) sedangkan proyek pembangunan bandara juga mengakibatkan perlawanan dari warga terdampak mereka tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) dan Persatuan Pemuda Anti Diktator (PREDATOR). Keempat organisasi ini konsisten menolak perampasan tanah rakyat tanpa syarat. Perjuangan dari 4 organisasi perlawanan rakyat ini telah menyisahkan 5 petani yang dikriminalisasikan, kelima petani itu adalah 1. Tukijo (PPLP) 2. Sarijo (WTT) 3. Wasio (WTT) 4. Wakidi (WTT) 5. Tri Marsudi (WTT). Kelima petani tersebut dikriminalisasikan karena menolak perampasan tanah yang terjadi di pesisir selatan kulon progo yang akan menggusur habis lahan pertanian produktif, tempat wisata, cagar budaya, dan tempat umum lainya. Selain itu perampasan tanah ini akan mengakibatkan kerusakan alam dalam jumlah besar seperti hilangnya gumuk pasir yang terhampar dari pantai parangtritis sampai pantai congot yang berfungsi sebagai benteng terhadap bencana tsunami. Alasan petani lainya menolak adanya penambangan pasir besi dan pembangunan bandara adalah hilangnya mata pencaharian mereka sebagai petani yang dapat menyerap tenaga kerja buruh tani dari berbagai tempat. Upaya penolakan terus berlanjut hingga saat ini karena petani pesisir selatan kulon progo sudah puas dengan hasil panen mereka yang melimpah, namun pihak pemrakarsa yang berkolaborasi dengan pemkab kulon progo terus nglotot ingin menambang pasir besi dan membangun bandara di pesisir selatan kulon progo. Upaya yang dilakukan pihak pemrakarsa selain kriminalisasi terhadap petani juga adanya intimindasi, pembodohan terhadap petani, represifitas aparat terhadap petani, dll. Upaya yang dilakukan pihak pemrakarsa terhadap petani tidak membuat perjuangan kaum tani pesisir selatan kulon progo takut, namun malah sebaliknya penolakan yang dilakukan ke 4 organisasi tersebut semakin kuat. Ke 4 organisasi perlawanan rakyat tersebut sekarang sudah menjalin hubungan baik dan saling membantu dalam upaya penolakan perampasan tanah yang terjadi di kulon progo yang semakin memanas. Satu hal yang harus dipertanyakan, apakah penambangan pasir besi dan pembangunan bandara untuk kemakmuran rakyat? Mereka petani pesisir selatan kulon progo jelas lebih tau bahwa penambangan pasir besi dan pembangunan bandara hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu saja, sedangkan petani harus menderita karena tanahnya akan dirampas oleh rezim yang tidak pernah berpihak kepada rakyatnya.
#HIDUP RAKYAT
#SAVE PETANI
#SAVE PPLP
#SAVE PREDATOR

#TANAH MILIK RAKYAT

perampasan tanah

Selama 10 tahun terakhir konflik agraria (pertanahan) di indonesia terus mengalami peningkatan. Menurut laporan konsorium pembaharuan agraria (KPA), semenjak tahun 2004-2014 konflik agraria di indonesia tercatat sebanyak 1.520 konflik dengan luas areal 6.541.951,00 hektar yang melibatkan sebanyak 85 petani kehilangan nyawa, 633 petani dianiyaya, 110 petani ditembak, dan 1.395 petani dikriminalisasi dan ditahan oleh negara. Konflik agraria semakin meluas seiring dengan meluasnya proyek Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI),terutama pada pembangunan infrastruktur. KPA mencatat konflikagraria tertinggi terjadi pada proyek proyek pembangunan insfrastruktur, sedikitnya telah terjadi 215 konflik agraria (45,55%). Salah satunya ialah pembangunan insfrastruktur Bandara Internasional di Kecamatan Temon Kulon Progo yang melibatkan Pt.Angkasa Pura 1 yang berkolaborasi dengan perusahaan asal india GVK Power yang rencananya akan membangun Bandara Internasional seluas 645,68 hektar yang akan menggusur lahan pertanian produktif, cagar budaya, tempat wisata, dan pemukiman warga. Program Pemerintah Indonesia untuk pembangunan megaproyek bandara Internasional di Kecamatan Temon, Kabupaten, Kulon Progo, telah   memicu  warga di 6 (Enam) Desa yakni: (Glagah, Palihan, Sindutan, Jangkaran, Kebonrejo,Temon,danKulon)KecamatanTemon,untukmenolak adanya pembangunan megaproyek bandara, karena akan menggusur habis lahan pertanian produktif dan tanah hak milik warga sekitar. Oleh karena itu warga adanya pembangunan megaproyek bandara di Temon, dengan tujuan agar petani tidak kehilangan mata pencaharianya setiap hari. Menolak Kalau lahan pertanian dan tanah hak milik  petani akan digusur maka  aktivitas produksi petani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pun akan hilang, sebab tanah adalah kehidupan bagi manusia,dan tanah merupakan alat produksi para PETANI. Pemerintah seharusnya mengetahui bahwa sejarah kemerdekaan Indonesia  tidak lepas dari kelas petani yang turut memproklamirkan kemerdekaan 1945. Namun, pada pemerintahan Orde Baru hingga saat ini tidak pernah menghormati atau menghargai jasa petani. Lebih lagi pada era pemerintahan SBY-Boediono yang telah mengesahkan Program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), pada tahun 2011 untuk menopang pasar bebas. Adapun dalam Perpres (MP3EI) tersebut terdapat program baru di Yogyakarta, khususnya di Kabupaten Kulonprogo akan dibangun bandara Internasional yang nantinya akan merampas tanah rakyat seluas 645,68 hektar. Tetapi kalau dilihat dari pembangunannya yang bertaraf Internasional, apakah benar hanya membutuhkan tanah seluas 645,68 hektar. Bandara Kualanamu saja membutuhkan ±1.800 hektar, apa mungkin bandara bertaraf Internasional hanya membutuhkan tanah seluas 645,68 hektar. Akan tetapi pemerintah  telah mengelabui rakyatnya sendiri dengan slogan “pembangunan bandara untuk kemajuan rakyat” Slogan yang disampaikan Negara untuk rakyat itu adalah penipuan terhadap seluruh rakyat Indonesia. Semenjak munculnya pembangunan bandara telah memunculkan penolakan keras dari rakyat Temon yang tergabung dalam WTT (Wahana Tri Tunggal) dan PREDATOR (Persatuan Pemuda Anti Diktator). Rakyat kini telah memahami tentang pembangunan megaproyek bandara yang nantinya akan mengganggu keberlangsungan hidup mereka. alasan warga menolak adanya pembangunan bandara di temon adalah:
1. Karana pesisir selatan kulon progo khususnya kecamatan Temon adalah areal pertanian produktif dan masih banyak lahan yang mungkin bisa dijadikan lokasi mengingat pernah ada wacana lokasi Bandara baru Yogyakarta akan di bangun di wilayah lainnya yang mungkin tidak mengganggu aspek sosial dan ekonomi masyarakat setempat. 
2. Lahan konsesi pembangunan bandara seluas 645,68 hektar tersebut merupakan lahan yang menjadi kehidupan masyarakat baik untuk kehidupan sehari-hari maupun mata pencaharian. Lahan itu terdiri dari 80 persen lahan Hak Milik Masyarakat yang bersertifikat, leter C dan 20 persen tanah merah (tanah Negara bebas dan milik Paku Alaman).
3. Lahan 64
5,68 Hektar yang akan dijadikan proyek pembangunan bandara merupakan wilayah pemukiman yang terdapat Enam Desa terdiri dari Desa Glagah (2.720), Palihan (2.164), Sindutan (2.003), Jangkaran (1.681), Kebonrejo (1.317), dan Temon Kulon (1.616) sehingga jumlahnya 11.501 jiwa (BPS) serta ada pemukiman, tempat ibadah, sekolahan, sawah, tempat usaha yang akan digusur akibat Pembangunan Bandara di Temon.
4. Pesisir Temon memiliki lahan pertanian, yang mampu menghidupi sedikitnya 26.367 jiwa (BPS) masyarakat Temon, telah memberikan lapangan pekerjaan baik bagi penduduk setempat maupun di luar daerah (sebagai buruh petik, tengkulak, penyedia pupuk dan benih).
Dampak bagi warga:

1. Menggusur Lahan Hortikultura dan Pemukiman.
Akan menggusur kawasan lahan produktif yang sampai saat ini telah memberikan keuntungan masyarakat setempat ataupun masyarakat sekitar, baik materi maupun non materi (jasa lingkungan, kelembagaan, dan pengembangan pengetahuan masyarakat) dan ada pemukiman di Enam Desa diantaranya Desa Glagah, Palihan, Sindutan, Jangkaran, Kebonrejo, dan Temon Kulon serta, tempat ibadah, sekolahan, sawah, tempat usaha yang akan digusur akibat Pembangunan Bandara di Temon.
2. Penghapusan Lapangan Kerja yang Sudah Diciptakan oleh Petani
Lahan produktif di pesisir Temon telah memberikan lapangan pekerjaan baik bagi penduduk setempat maupun di luar daerah (sebagai buruh petik, tengkulak, penyedia pupuk dan benih). Dengan rencana pembangunan bandara ini akan meningkatkan angka pengangguran usia produktif, baik di kawasan pesisir maupun sekitarnya.
3. Gangguan Bagi Penyediaan Kebutuhan Bahan Pokok
Lahan pesisir tersebut mampu menghasilkan berbagai macam kebutuhan poko masyarakat, sayur-mayur, buah dan sebagainya, sehingga menjadi penyedia kebutuhan cabai terutama di Yogyakarta, Jakarta dan Sumatera.
4. Menghilangkan Ekosistem Gumuk Pasir
Pesisir di Kabupaten Kulon Progo adalah bagian dari gugusan gumuk pasir yang memanjang dari pantai Parangtritis, Kabupaten Bantul, dan merupakan satu dari 14 gumuk pasir pantai di dunia dan mempunyai fungsi lingkungan sebagai benteng terhadap ancaman bencana tsunami,.
5.Tumbuhnya Konflik horizontal yang Sengaja Diciptakan oleh Pemrakarsa Bandara.
Sebelum adanya isu rencana pembangunan Bandara, masyarakat hidup damai dengan semua pihak. Rencana pembangunan Bandara ini telah menimbulkan konflik horizontal yang dipicu oleh provokasi-provokasi pemerintah dan PT. Angkasa Pura dan bahkan upaya-upaya kriminalisasi terhadap yang kontra terhadap Bandar
a .seperti yang dialami Sarijo, Wasio, Wakidi, dan Tri Marsudi.

konflik agraria

Selama 10 tahun terakhir konflik agraria (pertanahan) di indonesia terus mengalami peningkatan. Menurut laporan konsorium pembaharuan agraria (KPA), semenjak tahun 2004-2014 konflik agraria di indonesia tercatat sebanyak 1.520 konflik dengan luas areal 6.541.951,00 hektar yang melibatkan sebanyak 85 petani kehilangan nyawa, 633 petani dianiyaya, 110 petani ditembak, dan 1.395 petani dikriminalisasi dan ditahan oleh negara. Konflik agraria semakin meluas seiring dengan meluasnya proyek Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI),terutama pada pembangunan infrastruktur. KPA mencatat konflikagraria tertinggi terjadi pada proyek proyek pembangunan insfrastruktur, sedikitnya telah terjadi 215 konflik agraria (45,55%). Salah satunya ialah pembangunan insfrastruktur Bandara Internasional di Kecamatan Temon Kulon Progo yang melibatkan Pt.Angkasa Pura 1 yang berkolaborasi dengan perusahaan asal india GVK Power yang rencananya akan membangun Bandara Internasional seluas 645,68 hektar yang akan menggusur lahan pertanian produktif, cagar budaya, tempat wisata, dan pemukiman warga. Program Pemerintah Indonesia untuk pembangunan megaproyek bandara Internasional di Kecamatan Temon, Kabupaten, Kulon Progo, telah   memicu  warga di 6 (Enam) Desa yakni: (Glagah, Palihan, Sindutan, Jangkaran, Kebonrejo,Temon,danKulon)KecamatanTemon,untukmenolak adanya pembangunan megaproyek bandara, karena akan menggusur habis lahan pertanian produktif dan tanah hak milik warga sekitar. Oleh karena itu warga adanya pembangunan megaproyek bandara di Temon, dengan tujuan agar petani tidak kehilangan mata pencaharianya setiap hari. Menolak Kalau lahan pertanian dan tanah hak milik  petani akan digusur maka  aktivitas produksi petani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pun akan hilang, sebab tanah adalah kehidupan bagi manusia,dan tanah merupakan alat produksi para PETANI. Pemerintah seharusnya mengetahui bahwa sejarah kemerdekaan Indonesia  tidak lepas dari kelas petani yang turut memproklamirkan kemerdekaan 1945. Namun, pada pemerintahan Orde Baru hingga saat ini tidak pernah menghormati atau menghargai jasa petani. Lebih lagi pada era pemerintahan SBY-Boediono yang telah mengesahkan Program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), pada tahun 2011 untuk menopang pasar bebas. Adapun dalam Perpres (MP3EI) tersebut terdapat program baru di Yogyakarta, khususnya di Kabupaten Kulonprogo akan dibangun bandara Internasional yang nantinya akan merampas tanah rakyat seluas 645,68 hektar. Tetapi kalau dilihat dari pembangunannya yang bertaraf Internasional, apakah benar hanya membutuhkan tanah seluas 645,68 hektar. Bandara Kualanamu saja membutuhkan ±1.800 hektar, apa mungkin bandara bertaraf Internasional hanya membutuhkan tanah seluas 645,68 hektar. Akan tetapi pemerintah  telah mengelabui rakyatnya sendiri dengan slogan “pembangunan bandara untuk kemajuan rakyat” Slogan yang disampaikan Negara untuk rakyat itu adalah penipuan terhadap seluruh rakyat Indonesia. Semenjak munculnya pembangunan bandara telah memunculkan penolakan keras dari rakyat Temon yang tergabung dalam WTT (Wahana Tri Tunggal) dan PREDATOR (Persatuan Pemuda Anti Diktator). Rakyat kini telah memahami tentang pembangunan megaproyek bandara yang nantinya akan mengganggu keberlangsungan hidup mereka. alasan warga menolak adanya pembangunan bandara di temon adalah:
1. Karana pesisir selatan kulon progo khususnya kecamatan Temon adalah areal pertanian produktif dan masih banyak lahan yang mungkin bisa dijadikan lokasi mengingat pernah ada wacana lokasi Bandara baru Yogyakarta akan di bangun di wilayah lainnya yang mungkin tidak mengganggu aspek sosial dan ekonomi masyarakat setempat. 
2. Lahan konsesi pembangunan bandara seluas 645,68 hektar tersebut merupakan lahan yang menjadi kehidupan masyarakat baik untuk kehidupan sehari-hari maupun mata pencaharian. Lahan itu terdiri dari 80 persen lahan Hak Milik Masyarakat yang bersertifikat, leter C dan 20 persen tanah merah (tanah Negara bebas dan milik Paku Alaman).
3. Lahan 64
5,68 Hektar yang akan dijadikan proyek pembangunan bandara merupakan wilayah pemukiman yang terdapat Enam Desa terdiri dari Desa Glagah (2.720), Palihan (2.164), Sindutan (2.003), Jangkaran (1.681), Kebonrejo (1.317), dan Temon Kulon (1.616) sehingga jumlahnya 11.501 jiwa (BPS) serta ada pemukiman, tempat ibadah, sekolahan, sawah, tempat usaha yang akan digusur akibat Pembangunan Bandara di Temon.
4. Pesisir Temon memiliki lahan pertanian, yang mampu menghidupi sedikitnya 26.367 jiwa (BPS) masyarakat Temon, telah memberikan lapangan pekerjaan baik bagi penduduk setempat maupun di luar daerah (sebagai buruh petik, tengkulak, penyedia pupuk dan benih).
Dampak bagi warga:

1. Menggusur Lahan Hortikultura dan Pemukiman.
Akan menggusur kawasan lahan produktif yang sampai saat ini telah memberikan keuntungan masyarakat setempat ataupun masyarakat sekitar, baik materi maupun non materi (jasa lingkungan, kelembagaan, dan pengembangan pengetahuan masyarakat) dan ada pemukiman di Enam Desa diantaranya Desa Glagah, Palihan, Sindutan, Jangkaran, Kebonrejo, dan Temon Kulon serta, tempat ibadah, sekolahan, sawah, tempat usaha yang akan digusur akibat Pembangunan Bandara di Temon.
2. Penghapusan Lapangan Kerja yang Sudah Diciptakan oleh Petani
Lahan produktif di pesisir Temon telah memberikan lapangan pekerjaan baik bagi penduduk setempat maupun di luar daerah (sebagai buruh petik, tengkulak, penyedia pupuk dan benih). Dengan rencana pembangunan bandara ini akan meningkatkan angka pengangguran usia produktif, baik di kawasan pesisir maupun sekitarnya.
3. Gangguan Bagi Penyediaan Kebutuhan Bahan Pokok
Lahan pesisir tersebut mampu menghasilkan berbagai macam kebutuhan poko masyarakat, sayur-mayur, buah dan sebagainya, sehingga menjadi penyedia kebutuhan cabai terutama di Yogyakarta, Jakarta dan Sumatera.
4. Menghilangkan Ekosistem Gumuk Pasir
Pesisir di Kabupaten Kulon Progo adalah bagian dari gugusan gumuk pasir yang memanjang dari pantai Parangtritis, Kabupaten Bantul, dan merupakan satu dari 14 gumuk pasir pantai di dunia dan mempunyai fungsi lingkungan sebagai benteng terhadap ancaman bencana tsunami,.
5.Tumbuhnya Konflik horizontal yang Sengaja Diciptakan oleh Pemrakarsa Bandara.
Sebelum adanya isu rencana pembangunan Bandara, masyarakat hidup damai dengan semua pihak. Rencana pembangunan Bandara ini telah menimbulkan konflik horizontal yang dipicu oleh provokasi-provokasi pemerintah dan PT. Angkasa Pura dan bahkan upaya-upaya kriminalisasi terhadap yang kontra terhadap Bandar
a .seperti yang dialami Sarijo, Wasio, Wakidi, dan Tri Marsudi.

situs purbakala desa glagah

The legend princess gadhung melati

Pada jaman dahulu berdirilah sebuah kadipaten besar arah barat daya dari pusat yogyakarta sekarang yang wilayahnya meliputi karang kemuning/adi karta antara gunung jeruk dan gunung lanang ( kabupaten kulon progo sekarang sampai bagelen ).
Kadipaten itu bernama kadipaten ZIOS dengan Adipati yang terkenal bernama “Adipati Cangak Mengeng”. Adipati cangak mengeng seorang yang sakti mandra guna dan memiliki dua orang putri bernama “Nyi Sekar Kenanga dan Nyi Gadhung Mlati”
Nyi sekar kenanga merupakan putri tertua yang kesukaanya bersemedhi dan mewarisi kesaktian ayahnya, terkenal dengan kekebalanya terhadap senjata jarum jarum kecil keemasan disebut wesi kuning, sedangkan Putri Gadhung Mlati seorang yang sangat tersohor kecantikanya dan kepintaranya menari dan menyanyi jawa ( nembang jawa ). Putri gadhung mlati juga dipercaya sebagai penjelmaan Nyi Roro Kidul ( ratu laut selatan ) yang kesukaanya memakai warna hijau pupusdaun dalam hal berpakaian.
Putri gadhung mlati merupakan putri kebanggaan seluruh kadipaten sios, kecantikannya tersohor kemana mana, sehingga R. Sanjaya mengirim utusan meminang Gadhung Mlati. Raden Sanjaya adalah raja dari kerajaan pusat budha. Adipati cangak mengeng menyanggupi untuk memberikan putrinya menjadi “putri persembahan” ke kerajaan pusat budha. Waktu itu merupakan kebanggan tersendiri dan merupakan kehormatan seluruh keluarga dan rakyat kadipaten apabila seorang putri dari kadipaten dipilih menjadi putri persembahan raja.
Adipati cangak mengeng terkenal sakti, bisa berjalan diatas air maupun bernafas didalam air. Sering berjam jam semedi didalam rawa. Selain itu juga memiliki kesukaan nyabung jago ( adu jago ) dengan para adipati tetangga. Salah satunya beliau berteman akrab dengan adipati lowanu yang bernama “gagak handoko” yang wilayahnya meliputi daerah puworejo sekarang.
Ada kalanya adipati lowanu dan adipati cangak mengeng saling mengunjungi kedaerah masing masing dan memiliki kesukaan yang sama yaitu sabung jago
Adipati lowanu memiliki putra yang bernama “ki mangun sakono” yang sering mengikuti ayahnya datang ke kadipaten sios untuk adu jago. Karena beberapa kali sering bertemu, tak disangka ki mangun sakono jatuh cinta dengan putri gadhung mlati begitu juga dengan putri gadhung mlati.
Keluarga adipati lowanu sama sekali tidak tahu bahwa putri gadhung mlati merupakan putri persembahan yang harus diberikan ke kerajaan pusat.
Sehingga pada suatu hari keluarga adipati lowanu datang melamar, dengan berat hati adipati cangak mengeng menceritakan perihal putrinya yang sudah dilamar oleh raden sanjaya dari kerajaan pusat budha. Adipati lowanu terkejut tapi dia tidak pantang menyerah, dia tetap pada pendirianya meminangkan putranya. Adipati cangak mengeng tidak kuasa menolak pinangan dari sahabatnya. Tetapi bagaimanapun dia sudah membuat komitmen dengan R. Sanjaya dari kerajaan pusat budha.
Adipati cangak mengen memikirkan cara menolak pinangan tersebut meski secara halus. Lalu adipati mengatakan dia menerima pinangan tersebut asalkan adipati lowanu dapat mengabulkan 2 bebono/syarat yang diajukan yaitu daun asem sebesar satu bantal ( pepesan katul diwungkus godhong limaran gedhene sak bantal ) dan sepasang burung dara hijau bercincin emas ( manuk gemak wulune ijo sejodho seng nganggo ali ali emas ). Selang beberapa waktu adipati lowanu yang sakti mandraguna dapat mengabulkan syarat tersebut, adipati cangak mengeng menerima dua bebono tersebut dengan hati sangat tertekan. Lalu beliau mengatakan bahwa masih ada 2 syarat lagi yaitu klangenan sepasang macan putih ( simo seng wulune putih sejodho ) dan sepasan ular belang hijau berkepala jangkrik ( ulo welang ijo endase jangkrik ). Dengan mudah adipati lowanu membawa 2 syarat tersebut. Hati adipati cangak mengeng menjadi sangat gundah gulan. Beliau tidak mungkin memilih salah satu pihak karena pasti mengecewakan pihak lainya yang semuanya akan menimbulkan pertikaian perang. Masalah kerhormatan seorang putri adalah harga diri yang harus dibela mati matian oleh seluruh rakyatnya. Tidak mungkin baginya memberikan purti gadhung mlati karena sudah mengadakan kesepakatan dengan kerajaan pusat untuk persembahan bagi raja R. Sanjaya. Adipati cangak mengeng tidak mungkin mengingkari janjinya kepada R. Sanjaya untuk segera memberikan putrinya ke kerajaan pusat. Dan jika beliau menolak pinangan adipati lowanu pasti akan tersinggung dan juga akan marah serta akan mengirim pasukan untuk menyerbu kadipaten sios, namun jika beliau menolak r. Sanjaya pasti pihak kerajaan pusat budha akan marah dan menyebutnya sebagai adipati yang suka ingkar janji. Adipati cangak mengeng menghadapi dua dilema yang susah dipecahkan. Ternyata benar, setelah semua bebono sudah dipenuhi adipati lowanu menagih janji untuk memberikan putrinya sebagai mantu. Para utusan adipati lowanu bahkan mengancam kalau adipati cangak mengeng terus mengulur waktu dalam memberikan putrinya maka pasukan lowanu akan menyerbu sios. Benar adanya bulan purnama tanggal 15 bulan jawa adipati lowanu sudah membawa seluruh pasukannya yang besar menuju kadipaten sios. Adipati cangak mengeng merasa sedih, duka, menyesal, dan gundah gulana karena beliau adalah seorang yang cinta damai, tidak suka berperang apalagi bermusuhan dengan sahabatnya. Beliau tidak mau jika rakyatnya jadi korban peperangan. Sebagai penganut agama budha lama yang halus beliau memikirkan bagaimana cara menghindari peperangan. Tepat tengah malam sebelum pasukan lowanu datang, diam diam beliau mengumpulkan seluruh anggota keluarga kadipaten. Lalu adipati cangak mengeng bersemedi memohon pada yang maha kuasa. Semua keluarga kadipaten ikut berdoa dan berkumpul bersama sama. Kemudian adipati cangak mengeng mengumpulkan seluruh kesaktianya dan tangan kananya mengusap tembok depan kadipaten, tiba tiba seluruh bangunan kadipaten sios ambles hilang kedalam tanah diiringi dengan asap yang tebal. Kemudian adipati cangak mengeng dan keluarganya meninggalkan kadipaten yang sudah muspra. Sebelum pergi beliau berpesan agar seluruh rakyat kadipaten hidup dengan rukun meski berbeda beda pangagem ( agama ) maupun beda pekerjaan ( bedo le makaryo ).

Rombongan pasukan dari lowanu yang berniat menyerbu kadipaten sios tidak mendapati apa apa karena bangunan kadipaten sudah hilang ( muspra ) yang ada hanya asap tebal menyelimuti bekas kadipaten sehingga mereka kembali pulang ke kadipaten lowanu. Adipati cangak mengeng dan keluarganya perlahan lahan menuju barat daya ke arah matahari tenggelam. Dipinggir pantai beliau berpesan kepada para nelayan bahwa jika kelak terlihat awan yang bergulung gulung, berarak dan nampak kluwung ( pelangi ) dari arah barat daya, itu pertanda akan segera musim hujan rakyat segera bersiap siap menanam padi. Dengan kata lain meskipun tidak lagi berada di kadipaten sios adipati cangak mengeng tetap njampangi/ngawasi dari jauh kehidupan rakyat di kadipaten sios dengan mengirim hujan sehingga petani bisa bercocok tanam agar masyarakat di dusun sios tidak kekurangan pangan.

PERISTIWA PENTING PERJUANGAN MASYARAKAT WTT KULON PROGO DALAM MENOLAK PENGGUSURAN LAHAN PERTANIAN PRODUKTIF UNTUK DIJADIKAN BANDARA

MASYARAKAT WTT KULON PROGO DALAM MENOLAK PENGGUSURAN DAN PEMBANGUNAN PERISTIWA PENTING PERJUANGAN
BANDARA
TAHUN 2011: Proses Awal Perampasan Tanah di Kecamatan Temon, Kulon Progo.
  • 25 Januari 2011: Proses pembangunan proyek bandara di Kulon Progo dimulai.
Terjadi sebuah kesepakatan kerjasama (MoU) antara pemerintah Indonesia yang diwakili oleh PT Angkasa Pura I (PT. AP I) dengan Investor asal India GVK Power & Infrastructure untuk pembangunan bandar udara di Kulon Progo. Kerjasama ini berbentuk usaha patungan, dan memiliki nilai kontrak US$ 500 juta.
  • 11 Mei 2011: Pemerintah Propinsi DIY menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan PT Angkasa Pura 1.
Untuk pengembangan bandar udara di Kulon Progo, selanjutnya dilakukan penandatanganan oleh Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dengan Tommy Soetomo, selaku Dirut PT Angkasa Pura I digedung Pracimosono di kompleks Kepatihan.
  • 13 Mei 2011: Ditetapkannya Kulon Progo sebagai lokasi pemindahan bandara Adi Sucipto Yogyakarta.
Ketetapan yang berdasarkan MoU antara PT. AP I, Gubernur DIY dan disaksikan oleh Bupati Kulon Progo ini, memberikan penjelasan bahwa lokasi pembangunan bandara akan berada di kawasan pesisir Kulon Progo. Diketahui luas lahan yang dibutuhkan untuk pembangunan bandara ini seluas 637 hektar.
TAHUN 2012: Kelahiran Organisasi WTT dan Beragam Aksi Penolakan.
  • 9 September 2012: Hari kelahiran organisasi Wahana Tri Tunggal (WTT)
Setelah mendapatkan informasi bahwa pembangunan bandara baru Yogyakarta akan dibangun di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo, masyarakat di 6 desa (Glagah, Palihan, Sindutan, Jangkaran, Kebon Rejo, Temon Kulon) yang merasa akan menjadi korban langung dari pembangunan tersebut mendirikan organisasi perjuangan yang bernama WTT. Masyarakat 6 desa tersebut menganggap bahwa pembangunan bandara baru akan mengakibatkan sejumlah penggusuran lahan dan menimbulkan kerusakan ekologis di wilayah mereka.
  • 19 Oktober 2012: Aksi pertama kali
WTT melakukan aksi penolakan pertama kali dengan cara melakukan aksi demonstrasi ke rumah dinas Bupati Kulon Progo. Mereka mendesak agar pembangunan bandara dibatalkan karena lahan yang mereka kelola telah memberikan banyak manfaat terhadap kehidupan mereka, khususnya telah menjadi areal pertanian produktif dan di sisi lain juga telah memberikan kontribusi dalam penyediaan lapangan kerja bagi warga di sekitar desa. Selain itu, WTT juga menganggap bahwa kawasan pesisir Kulon Progo yang mereka tempati merupakan salah satu kawasan penting di dunia, karena di areal tersebut terdapat kawasan gumuk pasir yang berfungsi sebagai benteng pagar penghalang bencana tsunami.
TAHUN 2013: Penerbitan Ijin Lokasi Pembangunan.
  • 15 Januari 2013: WTT melakukan aksi blokir jalan di Desa Palihan. Aksi ini dilakukan sebagai respon atas upaya pematokan lahan secara sepihak yang dilakukan oleh PT Angkasa Pura I, yang dalam hal ini juga didukung oleh pemerintah kabupaten Kulon Progo.
  • 17 Maret 2013: Gandung Pardiman selaku anggota DPD DIY dikecam oleh WTT lantaran menyebut masyarakat penolak bandara sebagai “Wong Edan”.
  • 18 Maret 2013: Pemerintah Kabupaten Kulon Progo menyerahkan rekomendasi perencanaaan pembangunan bandara kepada PT AP I.
  • 4 Juli 2013: Komisaris utama PT AP I memberikan pernyataan bahwa pengerjaan awal bandara sudah dapat di kerjakan pada akhir tahun 2013 atau awal 2014.  Kemudian pihak PT. AP I melakukan kerja sama dengan beberapa pihak dalam pembangunan bandara. Di antaranya, adalah: GVK, Mumbai Airport dan Sun Glow India.
  • 12 September 2013: WTT melakukan aksi pemasangan spanduk penolakan pembangunan bandara di 2 Desa terdampak.
  • 9 Oktober 2013: Mahasiswa jurusan Teknik Fisika UGM menyatakan bahwa lokasi pembangunan bandara memiliki resiko rawan tsunami. Namun Pemkab  Kulon Progo berkomentar tidak akan ambil pusing dengan persoalan tersebut dan menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah pusat terkait dengan dampak kajian yang akan ditimbulkan.
  • 11 November 2013: Diterbitkannya IPL (Izin Penetapan Lokasi) oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dengan Nomor:  1164/2013.
  • 11 Desember 2013: Pemerintah Kabupaten Kulon Progo mencoba menemui pengurus WTT. Pertemuan itu membahas persoalan rencana pembangunan bandara yang akan berlokasi di 6 desa di Kecamatan Temon: Desa Jangkaran, Sindutan, Palihan, Glagah, Kebon Rejo, dan Temon Kulon. Namun karena tidak terdapatnya titik temu, warga WTT selanjutnya melakukan aksi demonstrasi di kantor Balai Desa Glagah.
TAHUN 2014: Perjuangan dan Kriminalisasi Warga WTT
  • 10 Januari 2014: Ratusan warga WTT melakukan aksi pencabutan patok batas bandara di kantor balai Desa Glagah.
  • 16 Januari 2014 : WTT menyatakan bahwa terdapat banyak kejanggalan dalam proses pembangunan bandara di desa mereka. Kejanggalan tersebut diantaranya adalah pematokan dilakukan tanpa ijin dari warga dan dalam prosesnya melibatkan pihak kepolisian.
  • 26 Februari 2014: PT. AP I menyatakan menolak pengunduran lokasi pembangunan bandara.
  • 30 Maret 2014: WTT kembali melakukan aksi protes penolakan dengan menyebar selebaran “tolak bandara” di Desa Palihan dan Temon, yang lokasinya juga terletak di Jalan Daendels. Aksi tersebut di ikuti sekitar 300 orang.
  • 10 April 2014: WTT melakukan aksi demonstrasi di kantor Kecamatan Temon. Aksi ini dilakukan untuk meminta penjelasan secara langsung kepada Camat Temon dan Kepala Desa Glagah terkait dengan pendataan tanah warga yang akan digunakan untuk pembangunan bandara. Warga juga mendesak agar pembangunan bandara dibatalkan.
  • 14 April 2014: Lahir 2 organisasi yang bernama Forum Rembug Warga Transparansi (FRWT) dan Masyarakat Peduli Kulon Progo (MPK).  Bagi WTT, 2 organisasi tersebut adalah organisasi ciptaan Pemerintah Kulon Progo yang ditujukan untuk mendukung megaproyek pembangunan bandara. Beberapa hari kemudian,  muncul berbagai spanduk-spanduk pro bandara yang dibuat dari kelompok FRWT dan MPK.
  • 26 Mei 2014: GVK (perusahaan asal India), dan perwakilan PT AP I bertemu dengan Gubernur DIY. PT AP I dalam pertemuan tersebut menjelaskan bahwa pembangunan bandara akan dimulai pada awal tahun 2015.
  • 16, 17, 19 September 2014: Warga WTT melakukan aksi blokir jalan Lintas Selatan Jawa.
  • 23 September 2014: Warga WTT mendatangi Balai Desa Glagah, Kecamatan Temon, tempat berlangsungnya acara sosialisasi pembangunan bandara. Namun usaha tersebut dihalang-halangi oleh petugas Satpol PP, POLRI dan TNI. Karena kecewa terhalang-halangi, selanjutnya warga WTT melakukan aksi pemblokiran jalan Deandels.
  • 30 September 2014: Warga WTT kembali melakukan aksi menentang rencana pembangunan bandara di Balai Desa Glagah. Mereka bermaksud mempertanyakan kepada Kepala Desa Glagah yang bernama Agus Pramono, mengapa WTT tidak diperbolehkan hadir dalam acara sosialisasi di Balai Desa Glagah yang diselenggarakan pada 23 September 2014. Menghadapi aksi tersebut, Kepala Desa secara sepihak meninggalkan warga WTT tanpa memberikan penjelasan apapun. Sikap Kepala Desa tersebut memicu aksi spontan warga WTT melakukan penyegelan Balai Desa Glagah.
  • 1 Oktober 2014: Polres Kulon Progo menggelar olah TKP terkait peristiwa penyegelan Balai Desa Glagah, Kecamatan Temon. Pada hari itu juga dua warga WTT, yaitu Sarijo (Penasihat WTT), dan Purwito (Ketua WTT), dituduh sebagai aktor yang melakukan penghasutan terhadap warga untuk melakukan penyegelan balai Desa Glagah. Diketahui pelapor terhadap 2 warga tersebut adalah Camat Temon; Jaka Prasetya dan Kepala desa Glagah.
  • 3 Oktober 2014: Warga WTT melakukan demonstrasi ke kantor Kecamatan Temon. Di dalam aksinya tersebut, warga WTT menyatakan bahwa Camat Temon telah terlibat dalam konspirasi prakarsa pembangunan bandara dan juga telah melaporkan warga WTT ke Polres Kulon Progo.
  • 7 Oktober 2014: WTT melakukan Aksi Demonstrasi di Kepatihan (Kantor Gubernur Yogyakarta.
  • 16 Oktober 2014:  Terkait dengan pemanggilan dari pihak Polres Kulon Progo terhadap 2 orang warga WTT, warga WTT melakukan aksi solidaritas di kantor Mapolres Kulon Progo.
  • 27 November 2014: Satreskrim Kulon Progo menetapkan Sarijo sebagai tersangka. Ia dikenakan pasal 160 KUHP tentang penghasutan. Meski demikian, ia tidak ditahan dikarenakan pihak kepolisian belum memiliki bukti lengkap.
  • 1 Desember 2014: Konsultasi publik terkait pembangunan bandara baru Kulonprogo digelar di Desa Kebonrejo, Kecamatan Temon.
  • 11 Desember 2014: Warga WTT melakukan aksi demonstrasi penolakan “konsultasi publik” di depan Balai Desa Palihan.
  • 19 Desember 2014: Jumlah petani yang ditetapkan sebagai tersangka atas penyegelan Balai Desa Glagah bertambah menjadi 4 orang, yaitu: Sarijo, Wakidi, Tri Marsudi, dan Wasiyo.
  • 22 Desember 2014: Warga WTT melakukan aksi demosntrasi disela-sela pelaksanaan Konsultasi Publik Pembangunan Bandara di Desa Glagah, Kecamatan Temon.
 TAHUN 2015: Perjuangan Terus Berkobar
  • 4 Januari 2015:WTT kembali melakukan aksi demontrasi menolak pembangunan bandara di depan Balai Desa Glagah. Di tempat itu sedang dilangsungkan sebuah acara Konsultasi Publik Pembangunan Bandara.Aksi warga WTT ini dijaga ketat oleh puluhan Polisi dan TNI.
  • 16 Januari 2015: Corporate Expert PT AP I, Purwanto, memberikan penjelasan dalam rapat dengar pendapat dengan DPRD Kulonprogo di Gedung DPRD Kulonprogo, bahwa pembangunan bandara akan membuka kesempatan lowongan kerja hingga 5000 orang.
  • 30 Januari 2015: WTT melayangkan surat ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Grama Vikash Kendra (GVK) Power & Infrastructure selaku investor pembangunan bandara.
  • 30 Januari 2015: Kepala Kejaksaan Negeri Wates, Kulon Progo, menyebutkan ada dua berkas terkait kasus penyegelan balai Desa Glagah, yaitu berkas pertama merupakan hasil penyidikan kepada Sarijo; ditetapkan sebagai tersangka karena diduga melanggar pasal 160 KUHP tentang penghasutan. Sementara, berkas kedua berisi hasil penyidikan kepada tiga tersangka warga WTT lainnya, yakni, Wasiyo, Tri Marsudi, dan Wakidi yang diduga melanggar pasal 170 KUHP tentang kekerasan di muka umum.
  • 4 Februari 2015: Warga WTT kembali melakukan aksi penolakan pembangunan bandara di balai Desa Glagah.
  • 5 Februari 2015: Menteri Perhubungan Ignasius Jonan meninjau lokasi perencanaan bandara baru di pantai Congot, Desa Jangkaran dan Temon.
  • 6 Februari 2015: Terjadi bentrokan antara petugas pematokan koordinat lahan bandara dan warga WTT.
  • 9 dan 11 Maret 2015: Berkas perkara 4 warga WTT dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Wates, Kulon Progo.
  • 18 Maret 2015: Sidang Perdana kasus 4 warga WTT yang dikriminalisasi terkait aksi penyegelan balai Desa Glagah, Kecamatan Temon di gelar di PN Wates. Dalam persidangan perdana ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan dakwaan terhadap 4 warga WTT. Pada hari yang sama, Polres Kulon Progo  juga memberikan surat panggilan  kepada anggota WTT yang lain, Feri Teguh Wahyudi, dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan (pasal 333 KUHP). Pihak aparat kepolisian juga melontarkan isu bahwa akan ada pemanggilan terhadap 10 orang warga WTT lainnya terkait dengan kasus yang sama.
  • 24 Maret 2015: Sidang lanjutan (kedua), 4 warga WTT kembali digelar. Persidangan kedua ini mengagendakan pembacaan eksepsi dari penasihat hukum terdakwa.
  • 31 Maret 2015: 4 warga WTT menjalani sidang ketiga. Persidangan ketiga ini mengagendakan pembacaan tanggapan eksepsi dari JPU.  Di dalam persidangan ini, JPU menolak segala bentuk keberatan yang di sampaikan ketika pembacaan eksepsi.
  • 8 April 2015: Agenda persidangan keempat kasus 4 warga WTT kembali dilanjutkan, dengan agenda persidangan putusan sela dan tanggapan terhadap penangguhan penahanan untuk 4 terdakwa. Di dalam persidangan ini, hakim tidak mengabulkan penangguhan penahanan dengan alasan terdakwa tetap akan di tahan untuk memudahkan proses pemeriksaan perkara pidana.
  • 13 April 2015: Sidang Kelima. Persidangan kelima mengagendakan pemeriksaan saksi yang dihadirkan oleh pihak JPU.
  • 20 April 2015: Sidang Keenam; pemeriksaan saksi.
  • 30 April 2015: Sidang Ketujuh; pembacaan tuntutan dari JPU.
Catatan Kaki: 
  •  Kawasan pesisir Selatan Yogyakarta membentang lebih dari 100 kilometer, mulai dari ujung Timur Kabupaten Gunung Kidul sampai ujung Barat Kabupaten Kulon Progo.
  • Dalam MP3EI, Yogyakarta disebut sebagai salah satu kawasan MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition). Lewat skema MICE tersebut, maka pertumbuhan hotel dan infrastruktur penunjang lainnya menjadi tumbuh di subur di Yogyakarta belakangan ini. Akibatnya, krisis air dan krisis agraria lainnya menjadi semakin meningkat.